Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2016

Engkau,

Engkau masih mendambakan indahnya pelangi, Yang nampak walau hanya sekejap. Enggan berdetuhkan malam, Yang selalu datang diiringi cahaya rembulan.

Terbuai di Rinjani

Menetapkan tekad yang bulat dibawah naungan surya, Mengusir kehadiran ragu dalam dekapan rembulan. Jejak-jejak kecil ditinggalkan, Debu bercengkrama saling beradu. Namun deras-nya tiupan angin kerap kali mengganggu. Keluh kesah berbisik dalam hati yang sunyi. "Jangan menyerah, sebentar lagi". Ucap kawan mencoba terus meyakinkan langkah. Hembusan nafas saling berlomba, degup jantung terasa lebih cepat. Sembari menyandarkan diri disebuah batu, kepala-ku tengadah memandang biru-nya semesta. Lalu kembali berjalan... Siang berganti malam, Matahari diselingi bulan, Terang dilahap gelap. Hari ke-3, terasa cukup melelahkan. Keringat sudah banyak terkuras, setiap tetesnya tersapu debu. Namun semangat tak pernah surut, Terus berjalan... Hingga akhir-nya tiba di sebuah tujuan, Pelawangan sembalun. Satu langkah sebelum mendaki puncak. Tampak danau segara anak terpampang jelas dari sini. Memandang lurus senandung awan. Bercengkrama dengan nyaman, Meng

"overthinking"

"Aaahhhh" Sembari menggeliat, dengan mata yang sayup terpaksa harus terbangun dari tempat tidur. Saat itu waktu menunjukan dini hari. Beberapa orang mungkin sudah mengembara di alam mimpi-nya. Beberapa orang mungkin juga masih memilih untuk menikmati dingin-nya angin malam. Saya, harus terbangun dari tidur singkat seusai lelah menjalani rutinitas. Setelah mengambil segelas air, dan beberapa cemilan untuk mengganjal perut, Saya memutuskan untuk mengisi kegabutan( ga ada kerjaan) dengan menulis. Kali ini, rutinitas terasa tak bersahabat. Letih, lelah, lesu, diiringi jenuh adalah hiasan yang mengiringi rutinitas-ku. Semangat selalu tertinggal dirumah, luput dari daftar bawaan. Ditambah hujan yang sedang gencar membasahi tanah kota. "Semester 6, memang menjadi puncak kejenuhan di lingkungan perkuliahan". Setidak-nya itu lah jawaban beberapa teman-ku yang juga setuju dengan apa yang aku ucapkan. Memang, terdengar seperti pemalas mungkin. Atau lela

mengapa?

Kamu tak perlu memahami apa-apa, Disini, kepastian seutuhnya milik kematian. Selebihnya hanya bualan belaka. Bahkan perdamaian pun masih mencari-cari makna. Kekal; pintamu pada waktu. Sembari ragu mengangkat dagu. Lantas berjemawa sebagai jawara. Mengapa bimbang mengarungi gelombang?.

aku,

Aku adalah selembar daun pisang. Yang kau petik untuk berteduh dari tetesan air hujan. Lalu, kau menari-nari selepasnya reda,  Lemparkan selembar daun pisang yang melayang jatuh ke tanah basah. Terombang-ambing angin, Terhanyut derasnya air menunggu sampai di ketepian. Mencium harumnya lengkungan cahaya pelangi. Aku, selembar daun pisang.

diantara sadar

Malam menggeram, Desau angin yang ringkih menyandarkan denyut nadi, Langkah kaki samar terdengar. Gelap kian menggumam, mengusik hening. Memungut kata dalam senyap, Rembulan pun hanya mengintip dibalik awan pekat. Sunyi, janganlah kau memaki. Disini, kita mencari-cari sebuah arti. Mata, hendaklah kau terpejam. Di ladang imajinasi sudah lelah berlari-lari. Biarkan, raga enggan menopang diri. Letakkan tangguhmu, bersiaplah menyambut kembali mentari.