Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2017

Tarian Hujan

Belakangan, iring-iringan hujan kerap kali mendatangi kota. Tetes demi tetes yang menghujam setiap sudut kota. Beberapa ada yang senang. Menghirup aroma tanah basah sembari meneguk teh panas di dalam secangkir gelas dengan mata terpejam. "Jangan dulu berakhir" begitu gumamnya, berbicara dengan dirinya yang lain di dalam khayal. Itu bagian kesukaannya. Larut... Sesekali, sayup-sayup gemuruh petir mengiringi tarian hujan. Langit abu-abu menjadi panggung pertunjukkan. Di tempat yang lain, beberapa orang berkumpul bersama membelakangi pertunjukkan itu. Mereka malah asik berbagi cacian. Entahlah, yang terpenting bagi mereka hanyalah suara tawa yang keluar dari celah bibir. Saat hujan semakin lama menunjukkan keelokannya, di sudut kota yang lain, ada yang menggerutu; berharap pertunjukkan ini segera berakhir. Langkahnya terhenti. Kota terasa sesak baginya, tak ada ruang baginya untuk melangkah. Sepeda motor itu tak akan bisa melaju. Dia tertegun, mencoba menikmati pertunjuk

Di Antara Hiruk-Pikuk

Di antara hiruk pikuk kendaran yang membelah jalanan ibu kota, saya menyusuri bahu jalan. Tanpa teman. Hanya ada beberapa batang rokok di saku dan seperangkat headset  yang siap menemani langkah saya. Langkah saya terhenti di jembatan penyebrangan yang umum digunakan masyarakat di sini. Sejenak, saya menengok sekitar. Terlihat jelas, sekumpulan kendaraan saling bergerombol bersama para pengemudinya untuk sampai di tujuannya masing-masing. Ya, langkah kita terpisahkan oleh tujuan masing-masing. Sebagian mungkin sudah tidak sabar menikmati hangatnya pelukan keluarga tercinta, atau mungkin juga tergesa-gesa untuk segera bersua dengan kawan-kawannya. Beberapa masih ada yang berusaha mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk menyambung rantai hidup. Seperti pedagang kopi keliling di sudut sana yang masih menanti dagangannya diserbu orang-orang. Sedangkan saya. Di sini, termenung mencari-cari jati diri. Berada dalam jebakan usia. Berbekal tekad yang kuat berusaha mencari jalan untuk menopa

Seorang Lelaki Dengan Rokok Di Tangannya

Di celah bumi, seorang lelaki berjalan bersama sebatang roko di tangannya. Terjerat perangkap malam, yang selalu datang bersama dengan sunyi. Langkahnya rapuh.. namun yang dia tau hanyalah melangkah dan terus melangkah. Sesekali dia menutup telinga. Bebannya terasa kian menderu-deru. Dipikulnya dengan dua buah pundak! Sampailah lelaki tersebut di persimpangan jalan. Tatapannya kosong. Untuk sebuah senyum pun ia masih enggan. Sebentar... apa yang dia pikirkan? Belum habis pertanyaan itu, dia jatuhkan sebatang rokok yang sudah habis membakar dirinya sendiri. Diinjakan kakinya sebelum dia kemudian berlalu. Kali ini, dia berhenti di bawah pohon besar. Disandarkannya badan yang nampak terkurai lemas. Lagi-lagi, sebatang rokok singgah di tangannya, sebelum mulutnya menghisap racun di dalamnya. Kemudian.. kepalanya tengadah memperhatikan langit sana. Kali ini dia tersenyum. Hay tuan, apa enaknya tenggelam dalam khayal? Sudahlah, rebahkan tangguhmu. Malam terlalu kejam untuk kau la

Segelas Kopi Pertama

Segelas kopi pertama di hari ini.. Hari masih terlalu dini untuk dilalui oleh segelintir manusia. Lihat saja, di luar sana jalanan masih bisu, menyepi menanti lampu jalanan dimatikan. Langkah-langkah tersapu debu-debu yang perlahan hilang. Kemarin malam, langit mengguyur kota; menenggelamkan tetesan duka. Semua, telah berlalu bersama waktu dan tanda tanya yang mengikuti, ataupun penyesalan di sebaliknya. Berteriak keras di dalam dinding hati, lantang namun tak ada yang mendengar. Segelintir manusia menunggu hari yang baru tiba, melepaskan rantai yang membelenggu dengan harapan yang siap mengudara. Segelas kopi pertama di hari ini terdiam di sudut ruangan. Tanpa tanda tanya, tanpa penyeselan, dia perlahan hilang.  Merelakan dirinya dibiarkan habis tak tersisa. Di sini, di ruangan ini, aku sedang sibuk merangkai mimpi. Dengan ucapan-ucapan permintaan yang perlahan keluar dari celah bibir kepada yang Maha Kuasa,  mengalun merdu di antara kesunyian yang masih saja merasa angkuh

Sore Itu...

Sore itu lebih dari hanya sejuk.... Lembar demi lembar buku saya buka. Kata demi kata saya baca. Kalimat demi kalimat saya cerna. Di ujung sore itu, akhirnya saya tutup novel tersebut. Pikiran menuntun saya untuk menikmati alam luar. Banyak yang ingin saya utarakan, semesta. Ingin rasanya berteriak lantang di antara desir pasir, ataupun dalam lantunan gemuruh ombak. Ah! gumpalan awan itu! Terlentang di baliknya menjadi salah satu pintaku pada khayal. Sedikit demi sedikit hidup terasa menikam, kejam! Cerita demi cerita menjadi dilema. Semaunya! Masih enggan bersandar damai? Mungkin? Semakin lama, semakin jelas hidup menampakkan dirinya. Kemudian saya tertegun, acuh pada tarian angin. Kosong. Jalan panjang sejauh pandang, tersayat kenyataan berbalut harapan. Memang mebingungkan, begitulah maunya dunia ini. Dan kita manusia, terlihat sibuk menimang-nimang kebaikan dan keburukan.

Hujan Yang Tak Kunjung Berkesudahan.

Selubung kelabu perlahan menyelusup celah-celah dinding kalbu. Lembut usapan angin nan mendayu-dayu. Ditutupnya jendela, tempat anak-anak tanya liar berterbangan. Atapun selimut itu; pelarian diri dari bayang-bayang. Hangatnya yang tak pernah terbalaskan malam. Lalu disandarkannya raga pada dinginnya dinding. Kian menggigil. Nada-nada sendu memeluk erat,  enggan melepaskan. Di antara suka dan duka, di antara harap dan nyata menekur tertinggalkan waktu. Pikiran dan perasaan telah menjadi tambahan beban, menghisap segala dari tubuh. Hari telah malam dan lampu berpancaran di mana-mana. Hanya pikiran diri juga yang tanpa terang. Ruangan ini adalah tempat meneduh --- hujan yang tak kunjung berkesudahan.

Di Ambang Ketidak-mungkinan.

Ah, Bandung; Di dalamnya, hingar-bingar memadati tiap-tiap sudut. Saat langit menjadi biru, saat khayal mengepul merayu-rayu waktu. Berharap keajaiban melengkapinya ---- manusia. Lalu, matahari terbenam di peraduannya. Menenggalamkan tetes keringat lara. "Kembalikan senja kami!"  teriak anak kecil sambil merengek-rengek. Seiring bertambahnya usia, mungkin kita mulai menjadi pelupa. Luput dari benak, di sini, semua diciptakan dengan batas. Dan kita, tak pernah mengerti mengapa tarian nasib tak bergerak seirama. Gumam pertanyaan melengkapi hidup kita. Kita tak akan bisa melewati batas ketidakmungkinan itu, nak.

1/365

Beralaskan matras, perbincangan kami menembus riuhnya gemuruh angin malam. Berkelana dari satu tempat ke tempat lainnya. Seliar itu. Semua berada di luar tenda. Semua yang saya maksudkan adalah 5 orang kawan saya, dan saya sendiri yang saat itu memilih berada di ketinggian untuk menikmati pergantian tahun. Sayup-sayup genjrengan gitar dan nyanyian-nyanyian terdengar. Ya, kami memilih untuk berjarak dengan kumpulan-kumpulan lainnya. Terkadang, sepi lebih lihai dalam merayu. Dan lalu.. Sorak-sorai kembang api berterbangan di lapang langit. Dari sini, lampu-lampu kota nampak berseri-seri. Dirayunya kelabu. Selalu menyenangkan menyaksikan gemerlap lampu di antara gelap. Bintang-gemintang malu-malu, bersembunyi di sebalik awan pekat. Terserah, tiap-tiap memiliki caranya masing-masing. Saat itu, semua larut dalam kebahagiaan, mungkin, karena bahagia adalah esensi hidup ini dan hak manusia yang paling asasi. Saya termangu di antara keramaian. Masih saja merasa sepi. Sembari memandangi