Langsung ke konten utama

Sampai, nanti.

Gaduh ini bersemayam disudut akal,
Berteriak lantang didalam keheningan hati.
Terkadang, memang sulit berdamai dengan kenyataan,
Memahami alur garis yang tak pernah bertemu dalam satu titik.
Sudahlah, biarkan nasib membuat jalannya sendiri.
Kita lah insan; yang ditenangkan oleh takdir.

Aku lah penyair; yang mensisipkan harapan disebalik tulisan.
Memasangkan sayap pada tiap kata nya, 
Lalu menerbangkan nya bersama lantunan do'a di cakrawala.

Sampai nanti, 
Kelak kita kan bersua kembali.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketabahan Do'a bulan Mei

Aku berdiri di antara harapan dan kesia-siaan, sembari menggenggam kanak-kanak kecemasan. Ku terobos dinding itu, pembatas antara khayal dan nyata. Kumpulan tanya berkecamuk di kepala, membungkam denting-denting waktu yang tak pernah usai. Ku temui kamu, tersudut mendekap pilu. Dengan gemetar tangan dan, kali ini, ada yang lain dari rembulan. Dipantulkannya bayanganmu, yang tersudut mendekap tangis. Masih saja kau membuahkan senyuman di atas kesedihan. Air matamu menghapus tanya-tanya yang kau tulis di hamparan kesunyian, sebelum bisa kau jawab. Dari celah malam, aku tatap bayanganmu dengan wajah pasi, dengan gemetar tangan, yang membangunkan lelapnya burung-burung tidur. Kemudian rasa, menjelma dalam sebaris catatan kecil, di balik ketabahan do'a bulan Mei. Nyata adalah hak sang Pencipta. Manusia; merayakan cita dengan suka, ataupun luka.

Jalan Menuju Keabadian

Di suatu hari yang cerah, ada yang mengabaikan jalannya waktu. Hidup tak selalu tentang umur yang berkurang. Adalah sia-sia, bila keabadian adalah permintaan kita kepada Yang Maha Kuasa. Sepasang tangan saling menggenggam. Erat. Bukan waktu yang dia takuti. Kehilangan adalah hal terkejam, setelah kematian. Dunia melahirkan rasa takut. Bisikan mitos menelusuri jalanan kota. Dan manusia, menelan udara dari pagi yang begitu dingin. Jalan panjang terbentang. Beberapa pohon tumbuh di persimpangan. Do'a adalah jalan menuju keabadian, ucap langit menegur. Bila do'a adalah jalan menuju keabadian, izinkan mulut ini berucap di setiap malam yang panjang.

Bukankah Begitu?

Wah.. lama tak bersua. Sosial Media dan kehidupan nyata menyita waktuku belakangan ini. Dengan berbagai kesibukan lama dan baru, halaman blog  ini tak pernah ku tengok lagi. Berbagai macam pikiran mungkin harus dituangkan. Lalu sekarang, aku akan mulai kembali menuangkan pikiran pada wadah yang sudah seharusnya menampung semua pikiran ini.. Di sini-lah aku sekarang berdiri. Perlahan beranjak dari masa remaja dan sedang menjalani rutinitas sebagai budak dari perusahaan. Sejujurnya, bukan satu hal yang aku idam-idamkan. Tapi, mau dikatakan apalagi? Prinsip itu runtuh dengan sendirinya. Atau mungkin mental-ku yang tak sekuat itu. Kehidupan ini sejatinya tentang menerima apa yang memang dibekali oleh Yang Maha Kuasa. Selebihnya, tentang semua kekecewaan dan harapan yang semakin berjalan menjauh, kedua bola mata biarkan saja meneteskan tangis. Waktu tak akan menunggu untuk kita melangkah kembali. Bila datang dan pergi adalah definisi hidup, ya, saya setuju. Semakin lama kaki ini b

Tarian Hujan

Belakangan, iring-iringan hujan kerap kali mendatangi kota. Tetes demi tetes yang menghujam setiap sudut kota. Beberapa ada yang senang. Menghirup aroma tanah basah sembari meneguk teh panas di dalam secangkir gelas dengan mata terpejam. "Jangan dulu berakhir" begitu gumamnya, berbicara dengan dirinya yang lain di dalam khayal. Itu bagian kesukaannya. Larut... Sesekali, sayup-sayup gemuruh petir mengiringi tarian hujan. Langit abu-abu menjadi panggung pertunjukkan. Di tempat yang lain, beberapa orang berkumpul bersama membelakangi pertunjukkan itu. Mereka malah asik berbagi cacian. Entahlah, yang terpenting bagi mereka hanyalah suara tawa yang keluar dari celah bibir. Saat hujan semakin lama menunjukkan keelokannya, di sudut kota yang lain, ada yang menggerutu; berharap pertunjukkan ini segera berakhir. Langkahnya terhenti. Kota terasa sesak baginya, tak ada ruang baginya untuk melangkah. Sepeda motor itu tak akan bisa melaju. Dia tertegun, mencoba menikmati pertunjuk

Di Antara Hiruk-Pikuk

Di antara hiruk pikuk kendaran yang membelah jalanan ibu kota, saya menyusuri bahu jalan. Tanpa teman. Hanya ada beberapa batang rokok di saku dan seperangkat headset  yang siap menemani langkah saya. Langkah saya terhenti di jembatan penyebrangan yang umum digunakan masyarakat di sini. Sejenak, saya menengok sekitar. Terlihat jelas, sekumpulan kendaraan saling bergerombol bersama para pengemudinya untuk sampai di tujuannya masing-masing. Ya, langkah kita terpisahkan oleh tujuan masing-masing. Sebagian mungkin sudah tidak sabar menikmati hangatnya pelukan keluarga tercinta, atau mungkin juga tergesa-gesa untuk segera bersua dengan kawan-kawannya. Beberapa masih ada yang berusaha mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk menyambung rantai hidup. Seperti pedagang kopi keliling di sudut sana yang masih menanti dagangannya diserbu orang-orang. Sedangkan saya. Di sini, termenung mencari-cari jati diri. Berada dalam jebakan usia. Berbekal tekad yang kuat berusaha mencari jalan untuk menopa

Segelas Kopi Pertama

Segelas kopi pertama di hari ini.. Hari masih terlalu dini untuk dilalui oleh segelintir manusia. Lihat saja, di luar sana jalanan masih bisu, menyepi menanti lampu jalanan dimatikan. Langkah-langkah tersapu debu-debu yang perlahan hilang. Kemarin malam, langit mengguyur kota; menenggelamkan tetesan duka. Semua, telah berlalu bersama waktu dan tanda tanya yang mengikuti, ataupun penyesalan di sebaliknya. Berteriak keras di dalam dinding hati, lantang namun tak ada yang mendengar. Segelintir manusia menunggu hari yang baru tiba, melepaskan rantai yang membelenggu dengan harapan yang siap mengudara. Segelas kopi pertama di hari ini terdiam di sudut ruangan. Tanpa tanda tanya, tanpa penyeselan, dia perlahan hilang.  Merelakan dirinya dibiarkan habis tak tersisa. Di sini, di ruangan ini, aku sedang sibuk merangkai mimpi. Dengan ucapan-ucapan permintaan yang perlahan keluar dari celah bibir kepada yang Maha Kuasa,  mengalun merdu di antara kesunyian yang masih saja merasa angkuh

Seorang Lelaki Dengan Rokok Di Tangannya

Di celah bumi, seorang lelaki berjalan bersama sebatang roko di tangannya. Terjerat perangkap malam, yang selalu datang bersama dengan sunyi. Langkahnya rapuh.. namun yang dia tau hanyalah melangkah dan terus melangkah. Sesekali dia menutup telinga. Bebannya terasa kian menderu-deru. Dipikulnya dengan dua buah pundak! Sampailah lelaki tersebut di persimpangan jalan. Tatapannya kosong. Untuk sebuah senyum pun ia masih enggan. Sebentar... apa yang dia pikirkan? Belum habis pertanyaan itu, dia jatuhkan sebatang rokok yang sudah habis membakar dirinya sendiri. Diinjakan kakinya sebelum dia kemudian berlalu. Kali ini, dia berhenti di bawah pohon besar. Disandarkannya badan yang nampak terkurai lemas. Lagi-lagi, sebatang rokok singgah di tangannya, sebelum mulutnya menghisap racun di dalamnya. Kemudian.. kepalanya tengadah memperhatikan langit sana. Kali ini dia tersenyum. Hay tuan, apa enaknya tenggelam dalam khayal? Sudahlah, rebahkan tangguhmu. Malam terlalu kejam untuk kau la

Hari Kedua di Labuan Bajo

Matahari telah terbit, mengetuk mata untuk mengakhiri mimpi. Mengajak raga menikmati dunia nyata, bercengkrama dengan semeseta. Nikmatilah.. Hari ini, kita berencana mengunjungi salah satu keindahalan alam yang ada di Labuan Bajo. Singkat cerita.......................... Kita berangkat menuju lokasi tersebut dengan menggunakan angkutan umum yang telah dipesan. Bersama supir angkot kepercayaan Om Heri, kita menikmati indahnya perjalanan karena keindahan disekitarnya. Bukit Cinta. Nama dari lokasi yang akan kita tuju. Membuat greget memang, penasaran dengan lokasi yang mengatas namakan cinta tersebut. Nama Bukit Cinta diberikan karena tempat ini memang merupakan spot yang tepat untuk pengunjung memadu kasih dan memang banyak pasangan muda-mudi yang menghabiskan waktu di bukit ini pada malam harinya. Perjalanan menuju Bukit Cinta cenderung berbukit-bukit, gersang dan sedikit penuh dengan debu dikarenakan sedang ada pembangunan jalan dan pemangkasan bukit dalam rangka perluas

Sore Itu...

Sore itu lebih dari hanya sejuk.... Lembar demi lembar buku saya buka. Kata demi kata saya baca. Kalimat demi kalimat saya cerna. Di ujung sore itu, akhirnya saya tutup novel tersebut. Pikiran menuntun saya untuk menikmati alam luar. Banyak yang ingin saya utarakan, semesta. Ingin rasanya berteriak lantang di antara desir pasir, ataupun dalam lantunan gemuruh ombak. Ah! gumpalan awan itu! Terlentang di baliknya menjadi salah satu pintaku pada khayal. Sedikit demi sedikit hidup terasa menikam, kejam! Cerita demi cerita menjadi dilema. Semaunya! Masih enggan bersandar damai? Mungkin? Semakin lama, semakin jelas hidup menampakkan dirinya. Kemudian saya tertegun, acuh pada tarian angin. Kosong. Jalan panjang sejauh pandang, tersayat kenyataan berbalut harapan. Memang mebingungkan, begitulah maunya dunia ini. Dan kita manusia, terlihat sibuk menimang-nimang kebaikan dan keburukan.

Hari Pertama di Labuan Bajo

Setelah kurang lebih menghabiskan waktu 3 hari di perjalanan, kenyang betul mengenyam pemandangan darat dan laut, akhirnya kapal menepi di tepian Labuan Bajo. Labuan Bajo ini merupakan pelabuhan kecil yang dijadikan tempat singgah ketika akan bertandang ke pulau komodo.  Kapal telah berhenti. Kami secara beruntun meninggalkan kapal dan segera menghirup udara diluar. Orang-orang sibuk mengurusi barang dagangannya, seperti di pelabuhan lainnya. Kami memilih untuk beristirahat disekitaran pelabuhan sebari menikmati pemandangan yang disuguhkan labuan bajo. Langkahku telah berpijak di ujung barat Flores, di wilayah Nusa Tenggara dari timur Indonesia   . "Malu bertanya, sesat dijalan" kira-kira begitulah kutipan dari pepatah yang pernah kita dengar. Ya, memang sangat benar. Karena ketika kita tidak malu untuk bertanya, maka kita akan mendapatkan informasi baru. Sebelum sampai di Labuan Bajo, kami menaiki kapal untuk menyebrang dari Pelabuhan Sape(=pelabuhan di kab.Bima, NT